Setiap sebulan sekali, saya mengantar ayah check up ke Rumkit Dustira di Cimahi.
Ayah saya mengalami kecelakaan sehingga tulang femur kirinya patah dan harus dioperasi. Pada awalnya, ayah saya menolak untuk di operasi, beliau pun kemudian pergi ke bengkel tulang. Selama kurang lebih lima tahun, ayah saya pergi ke sekitar tujuh bengkel tulang, tapi belum ada hasil yang menggembirakan. Saat kondisi kakinya sudah membaik - waktu itu ayah sudah menggunakan tongkat dua, sebelumnya hanya menggunakan kursi roda -, beliau terjatuh lagi.
Kejadiannya sekitar sebulan sesudah saya sidang. Selama hampir dua minggu ayah saya hanya terbaring di tempat tidur karena tidak bisa bangun. Belakangan, saya mengetahui bahwa ada saraf yang terjepit. Dokter kenalan kami menjelaskan bahwa saraf terjepit itu merupakan akibat dari tulang yang patah tapi belum sembuh. Dokter itu kemudian membujuk kembali ayah untuk melakukan operasi. Ayah saya masih ketakutan untuk operasi. Semua teman-teman, kolega, dan saudara sudah membujuk ayah untuk operasi, tapi beliau masih belum mau untuk operasi.
Minggu ketiga kondisi ayah sudah membaik, beliau sudah bisa bangun meski tetap harus dibantu. Salah seorang teman kemudian mengusulkan untuk pergi ke dr. Bana.
Kami pun lantas membawa ayah ke sana. Setelah dinasehati oleh dokter, ayah pun lalu mau dioperasi.
Kami sungguh senang dengan pernyataan ayah. Dokter Bana menyarankan untuk menemui dr. Bambang di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Kami pun segera ke Hasan Sadikin dan menemui dr. Bambang.
Dr. Bambang kemudian memeriksa ayah dan memang mengusulkan untuk segera dioperasi. Ayah dengan tegar mengatakan bahwa dia siap untuk operasi secepatnya. Sehingga hari itu pula, kami segera mencari tahu tentang kamar rawat inap dan biaya operasi. Berhubung ayah adalah PNS, tentu saja kami mengandalkan kartu Askes untuk membantu membiayai pengobatan ayah. Kami memang mendapatkan informasi tentang biaya operasi, tapi petugas RSHS bilang tidak ada kamar yang tersedia untuk saat itu (kami mendapat layanan kamar kelas III untuk PNS gol. IIIB).
Baiklah, akhirnya kami pulang karena dijanjikan akan segera dihubungi oleh pihak RSHS begitu ada kamar kosong yang tersedia. Selama hampir dua minggu kami menunggu dan rutin menelpon RSHS tentang adanya kamar kosong, selalu tidak ada jawaban petugasnya. Kami benar-benar kecewa dengan pelayanan RSHS.
Kami pun lalu menyusun strategi baru, karena ayah sudah resah gelisah galau ga jelas dengan keadaannya. Akhirnya kami memutuskan untuk membawa ayah ke rumah sakit Dustira di Cimahi. Sekali lagi, mengandalkan kartu Askes. Alhamdulilah.... ayah saya segera ditangani dengan baik disana. Tempatnya pun bagi saya cukup menyenangkan, tidak terlihat seperti rumah sakit. Bahkan adik adik saya berebut untuk menunggu ayah disana (adik-adik saya kelas 5 dan 3 SD).
Ayah saya mendapatkan ruangan di sana, dimana hanya ada dua pasien di ruangan tersebut dan ada kamar mandi di dalamnya (ada enam ruangan dalam satu bangunan). Hanya sekitar empat hari ayah dirawat pra operasi, kemudian enam hari pasca operasi. Setelah itu, selama kurang lebih dua bulan ayah diharuskan bedrest di rumah.
Satu hal yang saya ingat sewaktu ayah dirawat adalah saya dan adik kedua saya bisa berada di Cianjur dan Cimahi hanya dalam waktu setengah hari. Yupz, rumah kami di Cianjur dan ayah di rawat di Cimahi. Kami bisa tiga kali bolak-balik Cianjur-Cimahi dalam sehari atau semalam. Kalau ga macet sih ga masalah, tapi kalau udah macet, kerasa banget capenya,hehehe... Tapi itu adalah bagian dari kenangan kami.
Sehari setelah ayah dioperasi adalah hari dimana saya di wisuda. Awalnya saya enggan untuk menghadiri wisuda, tapi ibu menyuruh saya menghadirinya. Akhirnya, saya ditemani adik kedua saya menghadiri wisuda, dengan dandanan seadanya (ga sempat ke salon), udah gitu terlambat pula.
Wisuda sarjana yang bagi orang lain adalah event spesial tapi tidak bagi saya. Kalau diingat-ingat, hari kelulusan bagi saya bukanlah hari yang istimewa. Ketika lulus SMP, saya menghadirinya bersama sahabat saya karena ayah harus menemani ibu saya yang keguguran di RS. Ketika lulus SMA, saya menghadirinya didampingi adik kedua saya, karena ayah menemani ibu yang baru saja melahirkan adik bungsu saya.
Jadi, itulah flashback cerita mengenai ayah saya. Sampai sekarang ayah, sekitar delapan bulan pasca operasi, ayah saya masih menggunakan kursi roda. Dokter bilang, hal ini wajar karena kejadiaannya sudah hampir enam tahun yang lalu dan si tulang tidak diberi apa-apa, sehingga tulang-tulang ayah mengalami keroposan dan butuh waktu lama agar tulang-tulangnya cukup kuat untuk kembali normal.
Mohon doanya saja dari teman-teman agar keadaan ayah saya semakin membaik, aamiin.
Terima kasih sudah membaca postingan saya kali ini :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar